Tahun Baru Hijriyah: Lebih dari Sekadar Pergantian Kalender
“Apa yang sebaiknya kita lakukan saat menghadapi tahun baru Hijriyah? Apakah ada doa atau amalan khusus?”
Pertanyaan itu terdengar sederhana, namun cukup menggugah hati. Di tengah hiruk-pikuk perayaan pergantian tahun versi kalender Masehi, umat Islam seringkali lupa atau bahkan tidak tahu bagaimana seharusnya menyikapi pergantian tahun dalam kalender Hijriyah kalender yang menjadi identitas umat Islam dan digunakan untuk menandai banyak ibadah penting seperti puasa, zakat, dan haji.
Pertanyaan itu mendorong saya untuk kembali menelusuri pandangan para ulama, khususnya ulama terdahulu dan juga pendekatan yang digunakan dalam gerakan pembaruan Muhammadiyah, untuk mencari tahu apa sebenarnya sikap yang tepat dan sesuai syariat dalam menyambut tahun baru Islam.
Tulisan ini merupakan refleksi dari jawaban atas pertanyaan tersebut bukan hanya sebagai bentuk penjelasan dan menggurui, tapi juga sebagai ajakan kepada diri saya sendiri dan kepada para pembaca untuk menyambut tahun baru Islam bukan dengan seremonial, melainkan dengan taubat, muhasabah, dan pembaruan tekad dalam ketaatan kepada Allah ﷻ.
Tahun baru Hijriyah adalah momen yang sering diperingati oleh kaum Muslimin sebagai pengingat akan hijrahnya Rasulullah ﷺ dari Makkah ke Madinah. Namun, bagaimana memaknai datangnya tahun baru ini? Apakah terdapat bentuk perayaan atau amalan khusus? Dan bagaimana semestinya seorang Muslim menyikapinya?
1. Tahun Baru Bukan Momentum Perayaan
Sebagian kalangan ada yang merayakan hari As-Syura pada bulan muharram dengan perayaan yang berlebihan.Banyak saya dapatkan tulisan yang jika diranglum pada akhirnya bermuara kepada tidak menjadikan pergantian tahun Hijriyah ataupun hari-hari didalamnya sebagai waktu untuk perayaan. Mereka lebih menekankan pada introspeksi diri (muhasabah) dan perbaikan amal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله menyatakan:
“Tidak ada dalam syariat perayaan tahun baru Islam, dan tidak pula pada malam pertama bulan Muharram. Jika seorang Muslim mengkhususkan hari tersebut dengan ibadah atau ucapan tertentu tanpa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah, maka itu termasuk bid'ah yang tidak dikenal oleh Salaf.”[https://www.islamweb.net/]
Disisi lain Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Anhar Anshory mengatakan bahwa perayaan hari besar dalam Islam dibagi menjadi 2 perayaan sayr'i dan perayaan budaya. Tahun baru Islam merupakan perayaan budaya. "untuk hari besar budaya tidak ada ritual tertentu dalam memperingatinya". [Muhammadiyah.or.id]
2. Muhasabah Diri di Awal Tahun
Para ulama menjadikan datangnya waktu baru sebagai sarana muhasabah dan peningkatan ketaatan. Mereka mengingatkan bahwa umur adalah modal utama menuju akhirat, dan tahun yang berlalu tak akan kembali.
Allah ﷻ berfirman:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."
(QS. Al-‘Ashr: 1–3) [qur'an]Ayat ini sering dijadikan rujukan oleh para ulama dalam mengingatkan pentingnya waktu, termasuk datangnya tahun baru. Bukan untuk berpesta, tapi untuk menyadari bahwa umur terus berjalan dan kematian makin dekat.
3. Tidak Ada Doa Khusus Tahun Baru dari Nabi ﷺ
Banyak sumber yang mengatakan tidak terdapat satu pun hadits shahih dari Nabi ﷺ atau atsar dari para sahabat yang menunjukkan adanya doa khusus menyambut tahun baru Hijriyah. namun saya mendapatkan hadis dari website islamqa.info yang menggambarkan secara umum do'a yang dapat dibaca ketika mendapati bulan sabit muncul
اللهم أدخله علينا بالأمن والإيمان، والسلامة والإسلام، وجوار من الشيطان، ورضوان من الرحمن
Ya Allah, semoga ia masuk kepada kami dengan rasa aman, iman, keselamatan, Islam, keridhaan Allah Yang Maha Penyayang, dan perlindungan dari setan
jika dilihat penjelasannya maka do'a ini seharusnya dibaca pada setiap awal bulan dan tidak dikhususkan hanya ketika bulan muharram saja.
4. Hijrah: Makna Spiritual, Bukan Sekadar Tanggal
Hijrah berarti pindah dari lingkungan yang tidak beriman, seperti masyarakat yang menyembah berhala atau tidak mengikuti ajaran Islam, ke lingkungan yang beriman dan menjalankan ajaran Islam. Hijrah juga bisa berarti perubahan secara batin atau psikologis, yaitu beralih dari cara hidup, kebiasaan, nilai, dan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, menuju cara hidup yang penuh keimanan, dengan nilai dan aturan yang berdasarkan Islam.
Para pendahulu kita memaknai hijrah bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan sebagai simbol perjuangan meninggalkan maksiat menuju ketaatan.
Nabi ﷺ bersabda:
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ.
"Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah."
(HR. Bukhari no. 10) [suaramuhammadiyah]Artinya, momen awal tahun Hijriyah semestinya dimaknai sebagai waktu untuk berhijrah secara spiritual dari kelalaian menuju kesadaran, dari dosa menuju taubat, dari keburukan menuju amal shalih.
Maka dari itu, menyambut tahun baru Islam bukanlah dengan perayaan, karnaval, atau acara seremonial yang tidak memiliki landasan syar’i. Justru sebaliknya, menekankan pada:
Muhasabah amal
Perbanyak taubat
Menyadari dekatnya kematian
Berkomitmen memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama
Sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al-Bashri رحمه الله:
ابن آدم إنما أنت أيام كلما ذهب يوم ذهب بعضك
“Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari. Jika satu hari berlalu, maka sebagian dirimu pun pergi.” [rumaysho.com]
Semoga dengan datangnya tahun baru Hijriyah, kita bisa lebih baik dalam beragama, sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Assunnah.
Waktu Dhuha, 1 Muharram 1447 H [27 Juni 2025]