Jangan Bersinar Lebih Terang Dari Matahari
Judul yang saya buat bermakna jangan terlihat lebih pintar dari atasanmu. Eh Beneran lo... ini tidak hanya sekedar ungkapan namun lebih kepada Seni Bertahan, Berkembang, dan Tidak Tersingkir dalam Dunia Kerja Modern
“Never outshine the master.”
— Robert Greene, The 48 Laws of PowerDi balik setiap perusahaan, proyek, atau tim kerja, ada satu ruang yang jarang dibahas secara terbuka yaitu politik kantor. Anda bisa menjadi karyawan paling cemerlang, paling inovatif, dan paling berdedikasi, namun tetap saja, itu tidak menjamin Anda akan dihargai atau dipromosikan. Bahkan sebaliknya terlalu menonjol bisa menjadi senjata makan tuan. Berhati- hatilah..
Kenapa Anda Harus Berhati-Hati?
1. Ego atasan Itu Nyata
Psikolog sosial seperti Daniel Goleman (penulis Emotional Intelligence) menekankan bahwa kecerdasan emosional terutama kemampuan membaca dinamika sosial lebih berperan dalam kesuksesan karier daripada IQ semata. Seberapapun terbuka dan profesional seseorng, atasan anda tetaplah seorang manusia. Ia memiliki ego, rasa tidak aman, dan kebutuhan untuk mempertahankan otoritasnya. Dalam sebuah studi dari Harvard Business Review (2016), ditemukan bahwa leader insecurity sering kali menyebabkan pemimpin enggan mempromosikan bawahan yang dianggap terlalu pintar atau populer. Jangankan melihat sebagai aset, mereka melihatnya sebagai potensi ancaman.
2. Kecemerlangan yang Salah Tempat mengakibatkan karir anda akan redup
Sosiolog Pierre Bourdieu menyebut konsep “capital sosial” sebagai aset tak terlihat yang sangat menentukan posisi Anda di organisasi. Ini mencakup hubungan, pengaruh, dan persepsi. Jika persepsi Anda adalah “terlalu ambisius” atau “menyaingi atasan,” Anda sedang berjalan di atas gunung berapi yang sedang begejolak dan tentu siap meledak kapan saja.
Strategi Bertahan dan Berkembang Tanpa Membuat Atasan Terancam
Berikut beberapa strategi yang bukan hanya relevan, tetapi survival tools dalam ekosistem kerja modern:
1. Tampil Kompeten Tanpa Merendhkan
Jangan jadi bintang terang yang menyilaukan, jadilah cahaya yang menyinari jalan tim dan atasan Anda. Beri ruang bagi atasan untuk mengambil perannya dalam forum besar, jika Anda menyumbang ide, arahkan agar terlihat sebagai hasil kolaborasi.
2. Gunakan Bahasa Diplomatis dan Inklusif
Komunikasi yang cerdas dapat menyelamatkan karier Anda lebih dari kejeniusan ide. Ubah kalimat yang anda gunkn misalnya “Saya rasa cara ini lebih baik daripada yang bapak/ibu sarankan kemarin.” menjadi “Saya kepikiran satu pendekatan alternatif. Kira-kira cocok enggak kalau kita coba A sebagai pelengkap rencana B?”
3. Bangun Aliansi, Bukan Panggung Tunggal
Dalam The Art of War, Sun Tzu menyebut bahwa kemenangan terbaik adalah yang diraih tanpa peperangan. Dalam konteks kantor, itu berarti membangun aliansi, bukan kompetisi internal. Dekati atasan dengan empati, namun bukan berarti menjadi seorang penjilat. Jadilah pendukungnya, bukan pesaing.Gunakan keberhasilan tim sebagai jembatan untuk menampilkan kompetensi Anda.
"Terlalu Menonjol” Bisa Jadi Dosa Tidak Tertulis
Dalam dunia kerja, tidak semua aturan tertulis di buku pedoman karyawan. Ada hukum-hukum tak kasatmata yang diam-diam menentukan nasib seseorang di dalam organisasi salah satunya adalah larangan tak resmi untuk “terlalu menonjol.” Meski prestasi dan kompetensi sering digaungkan sebagai kunci sukses, kenyataannya tidak semua lingkungan siap menerima individu yang sinarnya melebihi atasannya. Mereka yang tampil terlalu bersinar, apalagi di depan publik atau pimpinan yang lebih tinggi, berisiko memicu kecemasan, iri hati, atau rasa terancam dari orang-orang yang lebih senior.
Hal ini bisa memunculkan resistensi halus ide-ide diabaikan, peluang ditutup, atau bahkan peran perlahan dipinggirkan. Bukan karena kurang bagus, melainkan karena dianggap "mengganggu keseimbangan kekuasaan" yang sudah ada. Di sini, yang dipermasalahkan bukan kualitas kerja Anda, tapi bagaimana kualitas itu dipersepsikan oleh orang-orang yang merasa posisinya bisa tergeser. Itulah mengapa kecerdasan emosional dan sensitivitas sosial menjadi kunci: bukan hanya pintar bekerja, tapi juga pintar membaca ruangan dan tahu kapan harus bersinar, dan kapan harus membiarkan orang lain yang bersinar terlebih dulu.
Inilah realitasnya: dalam banyak kasus, bukan performa buruk yang menjatuhkan orang, tapi ketidakhadiran kesadaran politik. Fakta di lapangan banyak profesional hebat “dibekukan” karena terlalu vokal. Banyak inovator dibuang karena terlalu mencuri perhatian, Dan lebih banyak lagi yang harus meredupkan sinarnya agar bisa bertahan.
Kompeten Saja Tidak Cukup
Kita hidup di dunia kerja yang bukan selalu adil, tapi selalu politis. Dan dalam dunia seperti itu, kecerdasan yang bertahan bukan hanya yang brilian secara teknis, tapi juga yang paham kapan harus tampil dan kapan harus mengalah.
Kompetensi membawa Anda masuk.
Politik menentukan apakah Anda akan bertahan.Apakah Anda pernah melihat orang yang “terlalu cerdas” justru dijegal kariernya?
Atau Anda sendiri pernah mengalami momen di mana kecemerlangan justru dianggap sebagai ancaman?Itulah kehidupan.. ada pepatah jawa yang mengatakan
urip mung sak dermo ngelakoni, bungah susah nduwe'e menungso, pati urip jodoh rezeki duwe'e seng kuoso
Artinya cari sendiri ya gaes.. he..he..
Sumber Bacaan:
Greene, R. (1998). The 48 Laws of Power. Penguin Books.
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. Bantam.
Pfeffer, J. (2010). Power: Why Some People Have It and Others Don't. HarperBusiness.
Harvard Business Review. (2016). Why Do So Many Incompetent Men Become Leaders?
Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education.
Artificial Intelligence: Pandangan terhadap Chat-GPT
Artificial General Intelligence (AGI)
Penukaran Uang Jelang Hari Raya: Antara Tradisi, Ekonomi, dan Hukum Islam
Memahami Generasi: Baby Boomers hingga Generasi Alpha
Koding dan Kecerdasan Artifisial: Menjawab Tantangan dan Mengubah Mindset