Penukaran Uang Jelang Hari Raya: Antara Tradisi, Ekonomi, dan Hukum Islam
Setiap menjelang hari raya, fenomena penukaran uang baru menjadi hal yang lumrah di berbagai tempat. Baik di kota maupun di desa, banyak masyarakat yang rela antre di bank atau bahkan menggunakan jasa perantara untuk mendapatkan pecahan uang baru. Tradisi ini erat kaitannya dengan budaya memberi angpao atau 'THR' kepada anak-anak dan sanak saudara. Namun, di balik euforia tersebut, ada beberapa dampak ekonomi serta tinjauan hukum Islam yang patut diperhatikan.
Dampak Ekonomi dari Penukaran Uang
Meningkatkan Peredaran Uang Tunai
Dengan meningkatnya permintaan akan uang pecahan kecil, jumlah uang tunai yang beredar di masyarakat juga bertambah. Hal ini bisa berdampak pada inflasi dalam skala kecil, terutama jika terjadi peningkatan konsumsi yang berlebihan.Maraknya Jasa Penukaran Uang dengan Biaya Tambahan
Banyak perantara atau jasa penukaran uang yang mengenakan biaya tambahan, biasanya dengan sistem potongan tertentu. Misalnya, untuk menukar uang Rp100.000, masyarakat harus membayar Rp110.000. Hal ini menimbulkan persoalan terkait keadilan ekonomi serta potensi eksploitasi terhadap masyarakat yang membutuhkan uang baru.Potensi Peredaran Uang Palsu
Dalam kondisi di mana transaksi dilakukan di luar lembaga resmi, peluang terjadinya peredaran uang palsu semakin besar. Kurangnya pengawasan dalam transaksi ini sering dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengedarkan uang yang tidak sah.Tinjauan Hukum Islam: Apakah Termasuk Riba?
Dalam Islam, transaksi penukaran uang yang melibatkan nilai yang berbeda atau ada tambahan biaya sering kali masuk dalam kategori riba. Dalam hal ini, hukum Islam menetapkan bahwa transaksi penukaran mata uang (sharf) harus dilakukan dengan jumlah yang sama dan secara langsung tanpa ada penundaan.
Menurut hadis Nabi Muhammad SAW:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus sama nilainya dan dilakukan secara tunai. Jika berbeda jenisnya, maka jual-belilah sesuka kalian asalkan secara tunai." (HR. Muslim)
Berdasarkan hadis ini, penukaran uang yang dilakukan dengan tambahan biaya dapat dikategorikan sebagai riba, karena ada unsur ketidakadilan dalam nilai yang ditukar. Oleh karena itu, dalam Islam, lebih baik menukar uang melalui jalur resmi seperti bank yang tidak mengenakan biaya tambahan, dibandingkan melalui jasa perantara yang menerapkan biaya.
Fenomena penukaran uang menjelang hari raya adalah tradisi yang sudah melekat dalam budaya masyarakat Indonesia. Namun, masyarakat perlu lebih berhati-hati dalam melakukan penukaran agar tidak dirugikan secara ekonomi maupun terseret dalam praktik yang bertentangan dengan ajaran Islam. Solusi terbaik adalah dengan menukar uang melalui lembaga resmi dan menghindari transaksi yang mengandung unsur riba, demi keberkahan harta yang kita miliki.
Pekanbaru, 23 Ramadhan 1446 H